Orang yang jauh di sana menyebutku sekolah pelosok. Pelosok? Hmm, setidaknya begitulah nama yang diberikan orang kota untuk menyebut suatu tempat yang mereka tak tahu. Yang jarang muncul atau disebut-sebut di sinetron. Tapi tak apalah.
Sekali lagi, perkenalkan, namaku Sekolah. Sedikit aku ingin berbagi cerita tentang biodata-ku. Heh, jangan tertawa! “Biodata” adalah kata pertama yang aku pahami ketika sekolah ini berdiri. Dulu ada papan besar dengan tulisan “BIODATA MURID” di dinding ruang kepala sekolah. Waktu pertama berdiri di tahun 1980, papan biodata itu dipenuhi nama-nama anak kecil di kampung ini. Semuanya kukenal. Yang paling aku kenal tentu saja Rahmi yang kini jadi guru di sekolahku. Dari Si Rahmi lah aku jadi paham betapa menyedihkannya keadaanku, sekolah satu-satunya di desa ini. Kadang selepas bubaran kelas, Rahmi sering terlihat capai dan muram. Sudah lama ia mengajar sendiri di sekolahku. Guru lain kadang datang kadang tidak.
Dulu sempat ada guru yang datang, namun memilih untuk meninggalkanku untuk lebih memilih mengajar di sekolah kota yang lebih baik. Rahmi bertahan di sini, karena ia tak ingin anak-anak dikampungnya tak sekolah dan tak mengenalku. Hah, keadaanku memang tak meyakinkan. Aku berdiri sendirian di sini tanpa teman gedung lainnya. Tak ada lapangan bagi murid untuk latihan. Hanya ada pohon-pohon yang hampir sama tuanya denganku. Tak ada gedung perpustakaan. Lantaiku kayu ulin yang kuat yang dulu sengaja diangkut dari hulu sungai, dikerjakan bersama-sama oleh warga. Namun dindingku sudah lama reyot. Langit-langitku sudah berlubang di sana sini. Kalau hujan aku akan masuk angin seketika. Rahmi sedang sedih dan akupun begitu. Aku sungguh tak percaya diri.
Namun, keadaan menjadi berbeda. Entahlah, namun itulah yang kurasakan. Ketika seorang guru baru datang ke sekolahku. Memperkenalkan dirinya dengan sebutan Pemuda Biasa. Selain masih sangat muda, ia juga terlihat bersemangat. Ia menyentuh dinding-dindingku ketika pertama kali datang. Ia memeriksa tiap senti dari ruanganku. Mengukur-ukur. Dan kemudian, untuk pertama kalinya mengajakku berbicara. “Apa kabarmu?” tanyanya pelan kepada sebuah pintu di ruang guru. Pintuku. Aku menggerakkan sedikit pintuku, memberi tanda bahwa aku sedang payah. Ia tersenyum dan kemudian kembali ke kelas.
Tiba-tiba saja di minggu-minggu berikutnya, aku menjadi topik yang paling sering dibicarakan di kampung. "Sekolah...sekolah!" Anak-anak tak henti-henti meneriakkan namaku setiap pagi sebelum orang tua mereka beranjak ke kebun atau sawah. Bentukku tak bertambah baik, tetap banyak lubang di sana sini, namun aku merasa lebih bahagia. Lebih hangat, sehangat Rahmi yang kini juga ketularan semangat si Pemuda Biasa.
Aku menjadi bahagia bukan karena secara fisik aku jadi lebih baik. Aku bahagia karena aku semakin luas. Aku tidak lagi sebatas ruang-ruang sempit ini, atau ruang perpustakaan imajiner yang selalu kubayangkan. Aku yang sekarang adalah bangunan kayu ini, dan sungai yang mengaliri kampung, aku juga sawah dan pohon-pohon di hutan. Aku juga rumah penduduk yang kini menyimpan buku-buku. Aku juga pasar waktu anak-anak kampung keluar kelas diajak Pemuda Biasa untuk belajar mengenal uang di pasar. Aku juga kantor pos waktu anak-anak belajar mengirim surat pertama kalinya. Hah, tiba-tiba aku jadi luas sekali. Aku menjadi luar biasa. Aku juga laut yang jaraknya bermil-mil dari kampungku karena Pemuda Biasa sempat mengajak anak-anak kampung membuat layangan di sana waktu pelajaran IPA. Tiba-tiba aku bahagia. Bahagia Hah, tak terasa sudah hampir setahun si Pemuda Biasa itu di sini. Menemaniku dan membangkitkan kepercayaan diriku. Di suatu sore yang mendung, ia sempat membisikiku sesuatu.
Berikut bisiknya:
“Kau tahu sekolah,...” ia memanggil namaku.
“Sekolah di kota-kota, saudaramu itu sangat iri sebenarnya denganmu.”
Aku diam. Bagaimana mungkin aku lebih baik dibanding teman-temanku yang kaya itu.
“Kau punya semuanya sekarang. Kau punya laboratorium biologi terlengkap di hutan-hutan sana.”
“Kau punya lapangan olahraga yang luasnya dua kali lapangan Senayan di Jakarta sana.”
Aku diam. Ingin sekali aku membalas racauannya, namun sesuai dengan janjiku ketika pertama kali dibangun dulu, bahwa aku tidak akan berbicara langsung ke manusia. Aku diam sambil menggoyang sedikit jendela kelas satu.
“Murid-muridmu punya aku, guru yang secara intensif melatih mereka membaca dan berhitung. Mengenal angka-angka. Punya guru privat yang kadang bersedia diganggu hingga malam.”
Aku hendak menangis.
“Kau punya anak-anak kampung yang tiap pagi mengelu-elukanmu.”
“Kau punya buku-buku yang sebagian besar kau titipkan ke rumah kepala desa.” Aku tak kuat. Aku ingin menangis. Atap-atap seng-ku kugetarkan hingga menimbulkan suara gaduh.
“Aku hanya setahun di sini. Besok, penggantiku datang. Ia melanjutkanku. Bukan menggantikan. Kuharap kau berteman baik dengannya ya!”.
Tangisku tumpah. Badanku gemetar. Aku tahu betul kadang ia sungguh lelah mengajar hingga lupa makan, sering kudengar ia menangis diam-diam di belakang sekolah karena merasa bersalah setelah memarahi murid. Akulah saksi ketika ia hampir putus asa karena ditentang orang tua murid di awal-awal dulu. Ia juga yang kadang menemaniku di malam hari ketika hujan lebat membasahi kampung. Aku tahu betul ketika ia berteriak kegirangan mendapat telpon dari keluarganya. Aku sungguh telah mengingat banyak hal tentang Pemuda Biasa di depanku ini. Kugetarkan dengan hebat, dinding-dinding rapuhku. Aku ingin ia tahu kalau aku sedih ia akan pergi.
Si Pemuda Biasa tetap bertahan, kali ini mendekatkan wajahnya ke dindingku. “Bantu ia! Si Pemuda Biasa baru. Tapi tak apa jika kau kerjai ia sedikit. Bersediakah kau? Sekolahku?”
Aku tak boleh melepas janjiku. Aku tak akan membalas ucapannya. Aku ingin berteriak “Jangan pergi! Jangan pergiii!!!” Namun aku tetap diam tak bersuara.
Si Pemuda Biasa kemudian tersenyum. Matanya basah. Bahagia sekaligus sedih nampaknya. Begitupun aku yang kini diam membeku. Si Pemuda Biasa kemudian beranjak pergi. Mengelus dindingku dengan jari-jarinya yang penuh kapur. Sebelum jauh, akhirnya ku putuskan untuk melanggar janji. Kupastikan hanya dia yang bisa mendengarku. Kukeluarkan semua keberanianku.
“Terima kasih.” Bisikku pelan. Kubuka-kan pagarku dan mempersilahkan Si Pemuda Biasa berlalu. Ia tersenyum. Dan aku tak akan lupa itu.
_Cerita ini saya copas dari situs http://indonesiamengajar.org/kabar-terbaru/namaku-sekolah_
Masih banyak saudara-saudara, adik-adik kita yang berjuang demi sekolah. Harapan saya hanya satu kepada pemerintah, cerdaskanlah anak Indonesia menjadi generasi penerus bangsa yang mempunyai kepribadian, tata krama, dan sosial yang tinggi.