Hai
teman teman punya info nih tentang Maulid nabi,dibaca ya : ^_^
Fakta
yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam
menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun
kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun
tidak pernah kita baca dalam sejarah pernah mengadakan ihtifal (seremoni) secara khusus setiap tahun
untuk mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam.
Hukum
Merayakan Maulid Nabi
Mereka yang sekarang ini banyak merayakan Maulid Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
1. Mereka berargumentasi dengan apa yang ditulis oleh Imam
As-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa Syaikhul Islam tentang maulid
serta Ibn Hajar Al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan menyambut
kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau telah memberi jawaban secara
bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan bid’ah yang tidak
pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas
hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang
terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak
sepatutnya.
Jika sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang
melanggar syari’ah, maka tergolong dalam perbuatan bid’ah hasanah. Akan tetapi
jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka
tidak tergolong di dalam bida’ah hasanah.
2. Selain pendapat di atas, mereka juga berargumentasi dengan
dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari
Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut bergembira ketika mendengar
kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Meski dia sediri tidak pernah mau mengakuinya
sebagai Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara
membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam.
Perkara ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah.
Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi jilid 1halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin Ad Dimasyqi menulis dalam
kitabnya Mawrid as Sadi fi Mawlid al Hadi : “Jika seorang kafir yang
memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya” (surat Al Lahab
ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan hamba Allah
yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal
dengan menyebut “Ahad”?
3. Hujjah lainnya yang juga diajukan oleh para pendukung Maulid
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah apa yang mereka katakan sebagai pujian
dari Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Menurut mereka, Ibnu Hajar telah menulis di dalam kitabnya, ‘Al-Durar al-Kamina fi ‘ayn al-Mi’at
al-thamina‘ bahwa Ibnu Kathir telah menulis sebuah kitab yang
bertajuk Maulid Nabi di penghujung hidupnya, “Malam kelahiran NabiSAW merupakan
malam yang mulia, utama, dan malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang
menggembirakan bagi kaum mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang
dan bersinar-sinar dan malam yang tidak ternilai.”
4. Para pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam juga
melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullahi
shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa hari Senin karena itu adalah hari
kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal
manusia.
Abu Qatadah Al Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin,
menjawab, “Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi
Rasul.”
Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih
Muslim, kitab As Shiyam (puasa).
Pendapat yang Menentang
Namun argumentasi ini dianggap belum bisa dijadikan landasan
dasar pensyariatan seremoni Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Misalnya cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu,
mereka mengatakan bahwa Abu Lahab yang diringankan siksanya itu pun hanya
sekali saja bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun
merayakan kelahiran nabi dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun kegembiraan
Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan
berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam akan mendapatkan keringanan siksa.
Demikian juga dengan pujian dari Ibnu Katsir, sama sekali tidak
bisa dijadiakan landasan perintah untuk melakukan sermonial khusus di hari itu.
Sebab Ibnu Katsir hanya memuji malam hari di mana Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam lahir, namun tidak sampai memerintahkan penyelenggaraan seremonial.
Demikian juga dengan alasan bahwa Rasulullahi shalallahu ‘alaihi
wasallam berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan hari kelahirannya.
Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang saat dilakukan bukan berpuasa, tapi
melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali. Kalau pun mau berittiba’
pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin,
bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali.
Bahkan mereka yang menentang perayaan Maulid Nabi ini
mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum Islam. Di mana umat Yahudi,
Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan
agama lain itu haram hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi
Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menganjurkannya atau
mencontohkannya.
Dahulu para penguasa Mesir dan orang-orang Yunani mengadakan
perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh
orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka
adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan
hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat
makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.
Dan akhirnya, para penentang maulid mengatakan bahwa semua
bentuk perayaan Maulid Nabi yang ada sekarang ini adalah bid’ah yang sesat.
Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk menyelenggarakannya atau ikut
mensukseskannya.
Jawaban dari Pendukung Maulid
Tentu saja para pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam tidak rela begitu saja dituduh sebagai pelaku bid’ah. Sebab dalam
pandanga mereka, yang namanya bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah
(formal) saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.
Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya diletakkan
di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa diukur dengan ukuran bid’ah.
Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku tentang kisah Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam. Padahal di masa Rasulullahi shalallahu ‘alaihi
wasallam, tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan
beliau. Bahkan hingga masa salah berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus
ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi buku sirah
nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena buku
itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dankeberadaan buku-buku
itu justru akan membuat umat Islam semakin mengenal sosok beliau. Bahkan
seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung maulid, kira-kira seremonial
maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku. Bedanya, sejarah Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari,
bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan
melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena
kisah nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah.
Dan semua itu bukan termasuk wilayah ibadah formal (mahdhah)
melainkan bidang muamalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu
asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara
eksplisit.
Kesimpulan
Sebagai bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah
satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah
satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan
ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling tuding, saling caci dan saling
menghujat.
Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan Maulid Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam, suka atau tidak suka, memang telah kita warisi
dari zaman dulu. Para pendahulu kita sudah berbeda pendapat sejak masa yang
panjang. Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak
kewajiban hanya lantaran masih saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat
di masa lalu.
Sementara di masa sekarang ini, sebagai umat Islam, kita justru
sedang berada di depat mulut harimau sekaligus buaya. Kita sedang menjadi
sasaran kebuasan binatang pemakan bangkai. Bukanlah waktu yang tepat bila kita
saling bertarung dengan sesamasaudara kitasendiri, hanya lantaran masalah ini.
Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan,
membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti
ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus
bertikai, maka para pemangsa itu akan semakin gembira.